Fenomena energi prana pada
beberapa perguruan sering dikaitkan dengan terpentalnya si penyerang ketika
berusaha menyerang seseorang yang memiliki tenaga tersebut.
Gejala tenaga prana bisa dikelaskan dengan pendekatan teori medan Elektromagnetik (EM). Si penyerang memberikan frekuensinya yang berbanding lurus dengan energi kepada yang diserang. Akibatnya, terjadi penguatan amplitudo yang akan memperbesar energi balik ke penyerang dan menyebabkan gangguan kepada yang bersangkutan, sesuai intensitas energi yang diaktifkan.
Gejala tenaga prana bisa dikelaskan dengan pendekatan teori medan Elektromagnetik (EM). Si penyerang memberikan frekuensinya yang berbanding lurus dengan energi kepada yang diserang. Akibatnya, terjadi penguatan amplitudo yang akan memperbesar energi balik ke penyerang dan menyebabkan gangguan kepada yang bersangkutan, sesuai intensitas energi yang diaktifkan.
PENJELASAN tenaga prana
dari sudut pandang ilmiah pada beberapa perguruan sejenis di Indonesia umumnya
mengikuti teori gelombang EM di atas, di mana mekanisme penjalaran tenaga prana
dijelaskan melalui interaksi berdasarkan jarak (action at distance) yang
memerlukan pengertian medan (besaran fisis yang mempunyai nilai di setiap titik
dalam ruang) dan gelombang sebagai perantaranya.
Untuk membuktikan
kebenaran teori EM, medan energi pada pelaku tenaga prana harus dapat diukur
dan dinyatakan secara kuantitatif. Faktanya, sampai saat ini belum ada hasil
ilmiah yang dapat menunjukkan kebenaran ide tersebut, walaupun pendekatan
dengan model EM adalah yang tertua dipikirkan manusia sejak dahulu (Cazzamalli,
1925).
Kelemahan penjelasan
dengan mekanisme ini terletak pada proses rambatan gelombang EM yang memerlukan
jeda waktu, sedangkan fenomena tenaga prana sendiri pada praktiknya tidak
terbatas oleh adanya ruang dan waktu.Dengan demikian, perlu dicari mekanisme
yang lebih representatif untuk menjelaskan fenomena tenaga prana. Beberapa ahli
fisika dan psikologi mengajukan beberapa konsep seperti Model Entropi dan
Proses Acak (Gatlin, 1972), dan Model Perwakilan Ruang Hiper (Feinberg, 1967,
1975).
Bahkan ada yang lebih jauh
lagi dengan model yang dinamakan Kecerdikan Jagat Raya (Universal
Intelligence). Model ini mengatakan bahwa eksistensi pikiran manusia melingkupi
semua ruang dan waktu. Apa yang ingin diwujudkan dalam ruang dan waktu dapat
diprogram pikiran manusia.
DARI semua model di atas,
ada model yang menarik yakni Model Holografik yang dikembangkan pakar fisika
David Bohm dan pakar psikologi Karl Pribram (1971,1975,1976). Mereka
menyimpulkan bahwa informasi di alam ini bukan merupakan fungsi ruang dan
waktu, tetapi dalam bentuk “getaran” yang dalam ilmu Fisika diwakili dengan
persamaan gelombang dengan amplitudo dan frekuensi masing-masing.
Kesadaran manusialah yang
melakukan “Transformasi Fourier” (sebuah konsep matematika yang dapat memetakan
semua proses fisik di alam dalam bentuk frekuensi dan amplituda serta
kelipatannya) agar dapat mewujudkan informasi tersebut ke dalam ruang dan
waktu. Penjabaran lebih lanjut model ini adalah kesadaran manusia (pikiran)
dapat mengambil semua getaran yang ada di alam. Kemudian melalui proses
transformasi tenaga prana, abstraksi dapat diwujudkan ke dalam ruang dan waktu.
Dengan mengikuti
perkembangan model fisika di atas, pemahaman pada mekanisme tenaga prana tidak
lagi terbatas pada dimensi yang sempit, hanya sebatas ruang dan waktu,
melainkan juga pada dimensi yang lebih luas yang menyangkut wilayah esoterik
dan dimensi kesadaran yang hanya dimiliki manusia.
Oleh karena itu,
diperlukan pengertian ilmu fisika dan cabang disiplin ilmu lainnya yang lebih komprehensif.
Dengan kata lain diperlukan sebuah konsep yang dapat menjelaskan segala sesuatu
di alam semesta berdasarkan teori tunggal. Teori tersebut alam ilmu fisika
dikenal sebagai A Theory of Everything.
ALBERT Einstein
menghabiskan waktu lebih dari 30 tahun sisa hidupnya untuk membangun teori yang
dapat menggabungkan empat gaya dasar yang berlaku di alam semesta: gravitasi,
elektromagnetik, dan dua buah gaya nuklir, kuat dan lemah. Sebuah teori yang
diharapkan dapat menjelaskan proses terjadinya “dentuman besar” (big bang) pada
awal evolusi, fisika dalam partikel atom dan semua hal-hal mikroskopik. Namun
demikian, misi itu sampai akhir hayat hidupnya bahkan sampai saat ini belum
juga tercapai.
Kompatriot Einstein
berusaha menciptakan teori tersebut dengan menggabungkan teori relativitas
(untuk menjelaskan gravitasi) dan fisika kuantum (untuk gelombang
elektromagnetik dan 2 gaya nuklir, kuat dan lemah). Dua hal yang saling
berlawanan, yang satu berkisar pada hal besar seperti galaksi, quasar, dan yang
satunya lagi hal kecil di dunia sub-atomik, hal yang diskrit seperti paket
energi disebut kuanta, ternyata gagal setelah 50 tahun berusaha mewujudkan A
Theory of Everything.
DEWASA ini para pakar
fisika berusaha mendekatinya dengan pendekatan lain. Ada Stephen Wolfram dengan
teori Automata Selular dan Michio Kaku dengan pendekatan perwakilan ruang
Hyperspace. Dalam kaitannya dengan pemahaman pada beberapa model yang telah
dipaparkan sebelumnya, mungkin buku Michio Kaku (1994) yang berjudul
Hyperspace: A Scientific Odyssey Through Parallel Universes, Time Warps and the
Tenth Dimension, dapat menjelaskan mekanisme tenaga prana lebih baik lagi dalam
usaha perumusan teori di atas.
Kaku mendapatkan idenya
dari penemuan Einstein tahun 1915 yang mengatakan bahwa alam semesta terdiri
dari empat dimensi: ruang dan waktu yang berkembang. Kelengkungannya
menyebabkan “gaya” yang disebut “gravitasi”. Kemudian Theodore Kaluza pada
tahun 1921 meneruskan riset Einstein tersebut dan mengatakan bahwa riak pada
dimensi ke “lima” dapat dilihat sebagai "cahaya”.
Bagaimana dengan
dimensi yang lebih besar dari lima?
Kaku memperkenalkan teori
yang disebut “superstring”. Jadi kelengkungan yang terjadi pada ruang dan
menyebabkan gravitasi merupakan paket kecil dari “string yang “bergetar” dan
“beresonansi”. Demikian juga cahaya yang merupakan riak dari dimensi ke-5
adalah komponen “string” lainnya. Dengan begitu, empat gaya dasar tadi dapat
digabungkan dan peristiwa di dalamnya menjadi dimensi yang lebih besar: 10
dimensi. Dengan 10 dimensi itu Kaku berhipotesis bahwa semua proses yang
terjadi sehari-hari-termasuk fenomena tenaga prana-dapat dijelaskan.
PERKEMBANGAN ilmu fisika
belakangan ini bahkan tidak berhenti hanya pada 10 dimensi, masih ada dimensi
yang lebih besar lainnya. Banyak konsep bermunculan, seperti pendekatan dengan
teori membran dan sebagainya yang semakin menuju pada hasil unifikasi gaya-gaya
yang mengatur seluruh alam semesta.
Semua penjelasan ilmiah
yang dibentangkan dalam tulisan ini pada intinya adalah meyakinkan bahwa di
luar panca indera yang terbatas, masih ada dimensi yang lebih tinggi dan belum
dieksplorasi dan dirasakan. Cara berpikir dan bekerja sensor manusia, terbiasa
dalam lingkup ruang dan waktu (empat dimensi). Pada kenyataannya, pikiran
manusia tidak terbatas hanya pada ruang dan waktu tersebut.
Sudah saatnya ilmu
pengetahuan dan teknologi mengarahkan risetnya pada hal-hal yang “esoterik”
yang dulu dikatakan sebagai “meta-rasional”, seperti adanya konsep aura, orbs,
dan tenaga prana.
Dengan demikian, tenaga prana dan metoda penyembuhan yang
menggunakan media ini serta segala aspek aplikasinya bisa dikuantifikasi secara
ilmiah bila A Theori of Everything telah ditemukan.
Diambil dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar